GERABAH TAKALAR BERTAHAN DARI GEMPURAN KERAMIK IMPOR




MAYZONA.COM (TAKALAR) - Hasil kerajinan gerabah yang dibuat dengan cara  tradisional masyarakat Takalar sejak puluhan tahun silam kini tetap bertahan meski harus bersaing dengan produk industri keramik impor.

   Gerabah menjadi tumpuan harapan masyarakat di tiga kecamatan di Takalar dengan sentra produksi Kecamatan Sanrobone yang dikerjakan secara turun-temurun sejak puluhan tahun.

    Puluhan kepala keluarga di Desa Pallantikang menjadikan kerajinan gerabah sebagai mata pencaharian yang diwarisi dari leluhur mereka untuk menghidupi keluarga.

   Dg Nassa salah satunya. Lelaki paruh baya itu bermandikan keringat sedang membuat adonan tanah liat bercampur pasir sebagai bahan baku gerabah dibawah rumah panggung milik sang majikan Abd Hamid dengan upah Rp15 ribu setiap hari untuk menghidupi istri dan dua anaknya.

   Sambil menyekah peluh yang membasahi wajahnya, Nassa menuturkan telah bekerja sebagai tenaga khusus membuat adonan tanah bercampur pasir untuk dibentuk menjadi gerabah selama sepuluh tahun.

   Sebanyak 20 pengrajin gerabah di Desa Pallantikang adalah binaan Abd Hamid, mereka memproduksi rata-rata satu set kursi dan belasan buah guci setiap minggu, kemudian dijual dengan harga Rp350 ribu untuk satu set kursi dan rata-rata Rp100.000 untuk sebuah guci, tergantung corak yang diinginkan pemesan.

    "Satu stel kursi menghabiskan biaya Rp200 ribu dan untuk guci siap dipasarkan sekitar Rp75 ribu belum termasuk ongkos angkut ke daerah pemasaran ke hampir semua kabupaten di Sulsel, sehingga keuntungan yang diperoleh sangat kecil, "ujar Hamid.

     Kendati tidak membuahkan keuntungan besar, tetapi pengrajin gerabah di Desa Pallantikang tetap menekuni hasil kerajinan peninggalan leluhur mereka sejak puluhan tahun lalu.

     Perlu Bantuan Modal

     Kendala utama yang dihadapi pengrajin gerabah di daerah itu adalah modal dan pemasaran. "Hanya bertahan untuk melestarikan produk kerajinan warisan pendahulu kami yang telah menciptakan sebuah karya yang sangat luar biasa, meski harus bertahan ditengah gempuran keramik impor dari China, "ujar Hamid sembari memperlihartkan tempat pengolahan gerabah yang sangat sederhana menggunakan teknologi tepat guna di desanya.

    Hj, Najmah, Ketua kelompok pengrajin lainnya mengatakan, penjualan ke daerah rata-rata dua hingga tiga truk setiap pengiriman dengan wilayah pemasaran hampir semua kabupaten di Sulsel serta sebagian ke Kota Palu (Sulteng) dan Kendari (Sultra).

    Selain bahan baku serta upah pekerja yang mahal. Tanah liat dibeli dengan harga Rp350 ribu per truk, sedangkan satu truk pasir seharga Rp500 ribu, sehingga pengrajin perlu bantuan modal agar tidak gulung tikar ditengah menjamurnya produk keramik impor, kata wanita berjilbab tersebut. 

    Frekuensi pengiriman barang berfluktuasi, kalau musim kemarau bisa setiap bulan, namun pada musim hujan hanya sekali dalam dua bulan atau lebih, karena proses pengeringan yang memerlukan waktu satu minggu, bahkan lebih, ujarnya.

    Untuk meningkatkan kualitas dan desain agar bisa bersaing dengan produk gerabah dari daerah lain, para pengrajin butuh bantuan modal usaha. Selama ini mutu produk gerabah Takalar kalah bersaing dengan produk serupa dari Kasongan (Yogyakarta) dan gerabah Sorong (Papua).

    Mereka memiliki modal besar, sementara pengrajin gerabah di Takalar kekurangan modal, namun dari kualitas dan desain, terutama ukiran ciri khas, gerabah Takalar lebih unggul, kata Hamid.   
   
     Keunggulan lain produksi gerabah Takalar satu-satunya di Sullsel adalah menjadi tempat magang dan studi banding sejumlah pengusaha industri gerabah dari berbagai provinsi, ujar Mardiana Pagassingi, staf Dinas Perindag Kabupaten Takalar. 

     Kendati produk keramik impor nyaris menguasai pasar dalam negeri, terutama dari China, namun gerabah Takalar tetap diminati konsumen dibeberapa daerah di Sulsel, Sulteng dan Sultra yang selama ini menjadi pasar utama, kata Mardiana yang mengantar peserta lomba karya jurnalistik ke lokasi pembuatan gerabah Desa Pallantikang.


     Kelebihan gerabah Takalar karena tetap mempertahankan dan melestaikan corak dan desainnya yang khas tidak dimiliki oleh pengrajin dari daerah manapun di Indonesia, sehingga sebagian masyarakat lebih tertarik dengan produk industri gerabah Takalar ketimbang keramik impor dari China, katanya. (SM)


 




















0 komentar:

Posting Komentar

 

Random Photos

Facebook